Polemik Remisi Koruptor: Antara Hak Narapidana dan Rasa Keadilan Publik

Pendahuluan: Di Persimpangan Keadilan

Ketika seorang narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi—pengurangan masa hukuman yang semestinya menjadi hak dalam sistem pemasyarakatan—reaksi publik sering kali bukan simpati, melainkan amarah. Situasi ini mencerminkan ketegangan klasik antara norma hukum yang bersifat positif (positivisme hukum) dan harapan moral masyarakat. Negara menjamin hak narapidana, termasuk koruptor, tetapi masyarakat merasa keadilan belum benar-benar hadir. Di sinilah letak polemik yang mengakar: apakah remisi bagi koruptor bentuk pemenuhan hak, atau justru ironi dalam penegakan hukum?


Korupsi: Kejahatan Biasa yang Dipersepsikan Luar Biasa

Dalam konstruksi hukum, korupsi digolongkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa—setara dengan terorisme dan narkotika. Tapi berbeda dengan teroris atau bandar narkoba yang sering dijatuhi hukuman berat dan mendapatkan stigma sosial tinggi, koruptor kerap mendapat perlakuan “lunak” setelah masa persidangan: vonis ringan, fasilitas nyaman di dalam lapas, hingga remisi yang rutin diberikan setiap peringatan hari kemerdekaan.

Namun sesungguhnya, yang luar biasa bukan hanya dampak ekonomisnya, tetapi juga efek struktural dan psikologisnya. Korupsi merusak sistem, menghancurkan kepercayaan, dan melanggengkan ketimpangan. Ia bukan sekadar tindak kriminal, melainkan pengkhianatan terhadap amanah rakyat.


Hak Narapidana: Antara Hukum dan Politik Hukum

Remisi secara yuridis merupakan hak yang melekat pada narapidana. Dalam UU Pemasyarakatan (UU No. 22 Tahun 2022 yang menggantikan UU No. 12 Tahun 1995), hak ini menjadi bagian dari proses reintegrasi sosial. Artinya, narapidana bukan sekadar menjalani hukuman, tapi juga didorong untuk kembali ke masyarakat sebagai individu yang lebih baik.

Namun, hak ini tidak absolut. Peraturan Pemerintah (PP) No. 99 Tahun 2012 memperketat syarat remisi untuk pelaku kejahatan khusus, seperti korupsi. Mereka hanya bisa mendapat remisi jika bersikap kooperatif, mengakui kesalahan, dan membayar uang pengganti. Sayangnya, banyak remisi diberikan tanpa transparansi menyeluruh terhadap terpenuhinya syarat-syarat tersebut.

Artinya, hukum di satu sisi membolehkan, tapi di sisi lain, penerapannya membuka celah untuk interpretasi yang rawan dimanfaatkan oleh kepentingan.


Dimensi Psikologis: Ketika Publik Merasa Dikhianati

Remisi bagi koruptor bukan sekadar pengurangan masa tahanan; bagi masyarakat, ini adalah simbol lemahnya keberpihakan negara pada nilai-nilai keadilan. Psikologis publik telah tercabik oleh beragam skandal korupsi: bantuan sosial diselewengkan saat pandemi, dana desa dikorupsi, hingga jual beli jabatan. Ketika pelaku dari kejahatan tersebut menerima remisi, seolah negara berkata: “Kami memahami pelaku, bukan korbannya.”

Rasa keadilan publik bukan entitas hukum, tapi eksistensinya nyata. Ia membentuk kepercayaan terhadap sistem dan memengaruhi legitimasi negara. Jika rasa keadilan ini terus-menerus diabaikan, maka hukum kehilangan makna sebagai alat sosial, dan menjadi sekadar prosedur administratif.


Solusi Alternatif: Jalan Tengah yang Perlu Diciptakan

Alih-alih sekadar memperdebatkan boleh atau tidaknya remisi, negara perlu menciptakan skema yang memadukan dua hal: keadilan hukum dan keadilan sosial. Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan:

  1. Remisi Bersyarat Transparan: Syarat remisi harus dapat diverifikasi secara publik, misalnya melalui platform digital terbuka yang menunjukkan status pembayaran uang pengganti, restitusi, dan kooperasi hukum.
  2. Remisi sebagai Insentif Restoratif: Jadikan remisi sebagai insentif bagi pelaku yang aktif mengembalikan kerugian negara, bukan semata berperilaku baik di penjara.
  3. Keterlibatan Masyarakat Sipil: Dalam kasus tertentu, lembaga antikorupsi dan masyarakat sipil bisa dilibatkan dalam evaluasi remisi untuk menjaga legitimasi.
  4. Diferensiasi Korupsi: Tidak semua kasus korupsi berada di level yang sama. Ada baiknya dilakukan kategorisasi jenis dan dampak korupsi untuk pemberian remisi yang lebih proporsional.

Penutup: Menuju Keadilan yang Tidak Buta

Pemberian remisi kepada koruptor bukan hanya soal administrasi, tapi soal bagaimana negara memaknai keadilan. Apakah hukum hanya sekadar alat pemenuhan hak prosedural, atau juga instrumen moral yang mencerminkan aspirasi rakyat?

Selama polemik ini tidak ditanggapi dengan kebijakan yang bijak dan transparan, publik akan terus merasa bahwa keadilan di Indonesia seperti timbangan yang miring—berat ke pelaku, ringan ke korban. Sudah saatnya hukum bukan hanya adil di atas kertas, tapi terasa adil dalam kenyataan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top